Selasa, 10 Juli 2012

Selamat Datang di Blog Kami



 Kami adalah konsultan hukum atau pengacara yang sudah mempunyai banyak pengalaman dan berhasil dalam menangani perkara perceraian, hak asuh anak, harta goni-gini, adopsi, itsbat nikah, dan warisan. Kami berharap semoga Blog kami dapat memberikan informasi  yang bermanfaat kepada pembaca

Pemisahan harta dalam perkawinan





Dalam satu perkawinan, seringkali masalah pembagian harta menjadi persoalan, terutama saat terjadi perceraian. Untuk menjaga agar persoalan itu tidak muncul, beberapa informasi berikut diharapkan dapat bermanfaat.



1. Harta Benda dalam Perkawinan

Menurut pasal 35 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), harta benda dalam perkawinan terbagi dalam tiga bentuk yakni harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan.

a. Harta Bersama (psl 36 ayat (1) UUP No 1/1974).

Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga baik suami maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak

Bila terjadi perceraian, maka menurut pasal 37 UUP, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan ‘hukumnya’ masing-masing adalah hukum yang berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (KUH Perdata misalnya).

Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti penguasaan harta bersama yang diperoleh suami-istri selama dalam perkawinan. Karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, dikarenakan dominasi dan stereotipe bahwa suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istri. Yang berarti akan mengecilkan hak istri atas harta bersama. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa pasangan suami istri memilih melakukan pemisahan harta dalam perkawinan (lihat poin 2 tentang Pemisahan Kekayaan).

b. Harta Bawaan (psl 36 ayat ( 2) UUP)

Yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Untuk itu penyimpanan surat-surat berharga sangat penting disini.

c. Harta Perolehan

Yaitu harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka baik seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan masing-masing. Pada dasarnya penguasaan harta perolehan ini sama seperti harta bawaan, yakni suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya masing-masing dan jika ada kesepakatan lain yang dibuat dalam perjanjian perkawinan maka penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian juga jika terjadi perceraian.


2. Pemisahan Kekayaan (pasal 29 (1) UUP)

Untuk melindungi istri terhadap kekuasaan suami yang sangat luas atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, dapat dilakukan Pemisahan Kekayaan yang dituangkan dalam Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan ini dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat secara tertulis oleh kedua calon pengantin atas persetujuan bersama.
Kompilasi Hukum Islampun sangat memungkinkan untuk dilakukan pemisahan kekayaan dalam Perjanjian Perkawinan (Lihat pasal 45 Kompilasi Hukum Islam).


3. Apakah Isi Perjanjian Perkawinan?

Pasal 29 UU Perkawinan No 1 tahun 1974, tidak menyebut secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan, kecuali hanya menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan. Hal ini berarti semua hal asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut termasuk tentang harta sebelum, dan sesudah kawin atau setelah bercerai.

Perjanjian perkawinan dalam KHI dapat meliputi pencampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama (pasal 47 ayat (2) dan (3) KHI)

Apabila dibuat sebuah perjanjian perkawinan tentang pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian itu tak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika dibuat perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga (pasal 48 KHI)


4. Sahnya Perjanjian

Pemisahan kekayaan lewat perjanjian perkawinan menurut pasal 29 ayat (1) UUP disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat para pihak dan pihak ketiga terhitung tanggal mulai dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat perkawinan (pasal 29 ayat (3) UUP dan pasal 50 ayat (1) KHI)
Isi perjanjian tak dapat diubah selama perkawinan berlangsung, kecuali ada persetujuan kedua pihak untuk merubah dan tak merugikan pihak ketiga (pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan)


5. Jika Perjanjian Dilanggar

Jika terjadi pelanggaran mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perjanjian perkawinan, istri berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan cerai di Pengadilan Agama (pasal 51 KHI).


6. Dapatkah Pemisahan Kekayaan Diakhiri?

Pemisahan kekayaan dalam perjanjian perkawinan dapat diakhiri dengan pencabutan atas persetujuan bersama suami-istri dan wajib didaftarkan di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Sejak pendaftaran ini, pencabutan mengikat kepada suami-istri. Namun bagi pihak ketiga, pencabutan baru mengikat sejak tanggal diumumkannya pendaftaran oleh suami-istri dalam suatu surat kabar setempat. Jika dalam waktu 6 (enam) bulan pengumuman tak dilakukan, pendaftaran pencabutan gugur dengan sendirinya dan tidak mengikat pihak ketiga (pasal 50 ayat (4) KHI).

Layanan Konsultasi & Informasi Tentang Perceraian



Secara prinsip blog ini untuk memberikan pelayanan konsultasi tentang perceraian, harta gono-gini, hak asuh anak, warisan, dan  itsbat nikah secara profesional. 

Bagi anda yg mengalami permasalahan-permasalahan di atas, anda dapat menghubungi kami di:
  • email: perceraian@gmail.com
  • telp: 083877662277
  • alamat: Jl. Mawar 1 No 29 Pondokcina Depok
Sesuai dengan maksud dan tujuan blog ini, ialah memberikan pelayanan konsultasi tentang perceraian, harta gono-gini, hak asuh anak, warisan, dan  itsbat nikah secara profesional, maka untuk konsultasi perceraian dikenakan biaya sebagai berikut:
  • Kedatangan pertama konsultasi = Rp 200.000,-
Hal-hal yg perlu diketahui dalam konsultasi perceraian:
  • Jadwal konsultasi:
  1. Senin sampai Jumat = Jam 9.00 - 19.30
  2. Sabtu - Minggu atau diluar jam kantor = perjanjian terlebih dahulu
  • Usahakan adakan perjanjian dahulu untuk jadwal konsultasi
  • Telepon atau Sms (083877662277)


Hukum Waris

Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga (keturunan) dan masyarakat yang lebih berhak.
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap orang  memiliki keinginan yang berbeda  menentukan hukum waris dalam memberikan warisan kepada ahli waris

Adopsi Anak


tata cara dan akibat hukumnya

Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak
dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang
memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Apa langkah-langkah tepat
yang harus diambil agar anak angkat tersebut mempunyai kekuatan hukum?


1. Pihak yang dapat mengajukan adopsi
a. Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
b. Orang tua tunggal
1. Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
2. Tata cara mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
3. Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:
- motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
- penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, Anda juga harus membawa dua orang saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi anda (baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa Anda akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.
4. Yang dilarang dalam permohonan
Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu:
- menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
- pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
Mengapa?
Karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.
Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan Anda, maka Anda perlu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan Anda dan kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.
5. Pencatatan di kantor Catatan Sipil
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.
6. Akibat hukum pengangkatan anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
a. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
· Hukum Adat:
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
· Hukum Islam:
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
· Peraturan Per-Undang-undangan :
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.

Istilah - istilah yang sering digunakan dalam sidang perceraian


1.
Panitera
:
seseorang yang bertugas mencatat dan mengurusi urusan//berkas-berkas persidangan perceraian
2.
Ketua Hakim Pengadilan Agama
:
seseorang yang memimpin/mengepalai lembaga Pengadilan Agama
3.
Ketua Hakim Majelis
:
seseorang yang mengetuai para Hakim dalam suatu sidang
4.
Hakim Anggota
:
seseorang hakim yang menjadi Hakim anggota dalam satu kelompok majelis
5.
Penggugat (dalam Pengadilan Agama)
:
seseorang (istri) yang mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama
6.
Tergugat (dalam Pengadilan Agama)
:
seseorang (suami) yang digugat cerai di Pengadilan Agama
7.
Pemohon
:
seseorang (suami) yang mengajukan permohonan cerai talaq pada istrinya di Pengadilan Agama
8.
Termohon
:
seseorang (istri) yang diajukan permohonan cerai talaq oleh suaminya
9.
Gugatan cerai / cerai gugat
:
berkas/surat cerai yang diajukan oleh si istri kepada suaminya
10.
Permohonan cerai talaq
:
berkas/surat permohonan suami utk mengucapkan talaq agar dapat bercerai dengan istrinya
11.
Jawaban
:
berkas/surat tanggapan dari si Tergugat (Termohon)
12.
Replik
:
berkas/surat dari Penggugat (Pemohon) tentang tanggapan dari adanya Jawaban Tergugat (Termohon)
13.
Duplik
:
berkas/surat dari Tergugat (Termohon) tentang tanggapan dari adanya Replik si Penggugat (Pemohon)
14.
Sidang saksi/pembuktian
:
sidang dimana para pihak (Penggugat/Tergugat) memperlihatkan bukti-bukti dan membawa saksi-saksi untuk mendukung dan membuktikan dalil-dalil dalam surat/berkas proses cerainya.
15.
Kesimpulan
:
berkas/surat dari para pihak untuk menyimpulkan surat-surat berkas-berkas yang telah diserahkan pada pengadilan.
16.
Petitum
:
permintaan yang diajukan oleh para pihak
17.
Hak pemeliharaan anak
:
adalah hak yang diperebutkan oleh para pihak untuk mendapatkan hak memelihara anaknya
18.
Harta gono-gini
:
adalah harta yang dihasilkan selama masa perkawinan
19.
Nafkah idah
:
nafkah yang diberikan mantan suami kepada mantan istrinya setelah bercerai, dimana nafkah itu diberikan selama masa idah setelah bercerai
20.
Mutah
:
adalah pemberian (kado) terakhir dari mantan suami kepada mantan istrinya sebagai adanya akibat perceraian
21.
Nusyus
:
adalah keadaan dimana si suami atau istri meninggalkan kewajibannya sebagai seorang suami atau istri
22.
Syiqaq
:
adalah suatu alasan cerai yang disebabkan adanya perselisihan yang terus menerus atau adanya perbedaan prinsip yang sangat mendasar yang tidak mungkin disatukan/didamaikan kembali
23.
Verstek
:
adalah putusan sidang tanpa sama sekali hadirnya si Tergugat (Tergugat tidak pernah datang menghadiri sidang walaupun sudah dipanggil dengan layak oleh pengadilan)

Kronologis Alur Proses Persidangan Perceraian Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri


Perlu diketahui bahwa untuk yang beragama Islam (nikah secara muslim) jika ingin bercerai maka gugatan cerainya diajukan di Pengadilan
Agama
, sementara bagi yang non-muslim jika ingin bercerai diajukannya di Pengadilan Negeri.


Bagi seseorang yang ingin mengajukan gugatan cerai persiapan dan persyaratannya adalah :
  1. Mengumpulkan bukti-bukti perkawinan, seperti:
a. buku nikah;
b. akta kelahiran anak-anak (jika punya anak);
c. Kartu Tanda Penduduk (KTP);
d. Kartu Keluarga (KK)
e. bukti-bukti kepemilikan aset (rumah/mobil/buku tabungan);
  1. Membuat kronologis permasalahan;
  2. Membuat gugatan cerai;
  3. Persiapan biaya pendaftaran gugatan;
  4. Mendaftarkan gugatan cerai di pengadilan berwenang.
  5. Mempersiapkan dua orang saksi.

Adapun urut-urutan sidang perceraian di Pengadilan Agama adalah :
  1. Sidang kelengkapan berkas-berkas, pembacaan gugatan dan usaha perdamaian;
1.1. Diikuti dengan acara mediasi ke-1;
1.2. Mediasi ke-2.
  1. Sidang hasil mediasi
  2. Sidang jawaban;
  3. Sidang replik;
  4. Sidang duplik;
  5. Sidang pembuktian dari penggugat;
  6. Sidang pembuktian dari tergugat;
  7. Sidang kesimpulan; dan
  8. Sidang putusan.
  9. Pembacaan ikrar talaq (jika yang ajukan gugatan cerai adalah suami).

Sedangkan sidang perceraian di Pengadilan Negeri terdapat sedikit perbedaan, yakni :
  1. Sidang kelengkapan berkas-berkas, pembacaan gugatan dan usaha perdamaian;
1.1. Diikuti dengan acara mediasi ke-1;
1.2. Mediasi ke-2.
  1. Sidang hasil mediasi;
  2. Sidang jawaban;
  3. Sidang replik;
  4. Sidang duplik;
  5. Sidang pembuktian dari penggugat;
  6. Sidang pembuktian dari tergugat;
  7. Sidang kesimpulan;
  8. Sidang putusan.