Kami adalah konsultan hukum atau pengacara yang sudah
mempunyai banyak pengalaman dan berhasil dalam menangani perkara perceraian,
hak asuh anak, harta goni-gini, adopsi, itsbat nikah, dan warisan. Kami
berharap semoga Blog kami dapat memberikan informasi yang bermanfaat kepada pembaca
Pengacara Perceraian Profesional
Selasa, 10 Juli 2012
Pemisahan harta dalam perkawinan
Dalam satu
perkawinan, seringkali masalah pembagian harta menjadi persoalan, terutama saat
terjadi perceraian. Untuk menjaga agar persoalan itu tidak muncul, beberapa
informasi berikut diharapkan dapat bermanfaat.
1. Harta Benda dalam Perkawinan
Menurut pasal 35 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP), harta benda dalam perkawinan terbagi dalam tiga bentuk yakni harta
bersama, harta bawaan dan harta perolehan.
a. Harta Bersama (psl 36 ayat
(1) UUP No 1/1974).
Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah
suami-istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha
salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri,
sehingga baik suami maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama untuk
memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak
Bila terjadi perceraian, maka menurut pasal 37 UUP, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan ‘hukumnya’
masing-masing adalah hukum yang berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu
hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (KUH Perdata misalnya).
Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti
penguasaan harta bersama yang diperoleh suami-istri selama dalam perkawinan.
Karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, dikarenakan dominasi dan
stereotipe bahwa suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istri. Yang
berarti akan mengecilkan hak istri atas harta bersama. Untuk menghindari hal
tersebut, beberapa pasangan suami istri memilih melakukan pemisahan harta dalam
perkawinan (lihat poin 2 tentang Pemisahan Kekayaan).
b. Harta Bawaan (psl 36 ayat (
2) UUP)
Yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing
suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari
warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh
masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau
suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya
masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang dituangkan dalam
perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai
dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta bawaan
dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
Untuk itu penyimpanan surat-surat berharga sangat penting
disini.
c. Harta Perolehan
Yaitu harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya
sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari
usaha mereka baik seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau
warisan masing-masing. Pada dasarnya penguasaan harta perolehan ini sama
seperti harta bawaan, yakni suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta perolehannya masing-masing dan jika ada
kesepakatan lain yang dibuat dalam perjanjian perkawinan maka penguasaan harta
perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian juga jika terjadi
perceraian.
2. Pemisahan Kekayaan (pasal 29 (1) UUP)
Untuk melindungi istri terhadap kekuasaan suami yang
sangat luas atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, dapat
dilakukan Pemisahan Kekayaan yang dituangkan dalam Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian Perkawinan ini dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan dan dibuat secara tertulis oleh kedua calon pengantin atas
persetujuan bersama.
Kompilasi Hukum Islampun sangat memungkinkan untuk
dilakukan pemisahan kekayaan dalam Perjanjian Perkawinan (Lihat pasal 45
Kompilasi Hukum Islam).
3. Apakah Isi Perjanjian Perkawinan?
Pasal 29 UU Perkawinan No 1 tahun 1974, tidak menyebut
secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan, kecuali hanya menyatakan
bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum
dan kesusilaan. Hal ini berarti semua hal asal tidak bertentangan dengan hukum
dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut termasuk tentang
harta sebelum, dan sesudah kawin atau setelah bercerai.
Perjanjian perkawinan dalam KHI dapat meliputi
pencampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing,
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta
pribadi dan harta bersama (pasal 47 ayat (2) dan (3) KHI)
Apabila dibuat sebuah perjanjian perkawinan
tentang pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian itu tak
boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika
dibuat perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban
suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga (pasal 48 KHI)
4. Sahnya Perjanjian
Pemisahan kekayaan lewat perjanjian perkawinan menurut
pasal 29 ayat (1) UUP disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yakni Kantor
Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam.
Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat para pihak dan pihak ketiga
terhitung tanggal mulai dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat
perkawinan (pasal 29 ayat (3) UUP dan pasal 50 ayat (1) KHI)
Isi
perjanjian tak dapat diubah selama perkawinan berlangsung, kecuali ada
persetujuan kedua pihak untuk merubah dan tak merugikan pihak ketiga (pasal 29
ayat (4) UU Perkawinan)
5.
Jika Perjanjian Dilanggar
Jika
terjadi pelanggaran mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perjanjian
perkawinan, istri berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai
alasan gugatan cerai di Pengadilan Agama (pasal 51 KHI).
6.
Dapatkah Pemisahan Kekayaan Diakhiri?
Pemisahan
kekayaan dalam perjanjian perkawinan dapat diakhiri dengan pencabutan atas
persetujuan bersama suami-istri dan wajib didaftarkan di Kantor Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Sejak pendaftaran ini,
pencabutan mengikat kepada suami-istri. Namun bagi pihak ketiga, pencabutan
baru mengikat sejak tanggal diumumkannya pendaftaran oleh suami-istri dalam
suatu surat
kabar setempat. Jika dalam waktu 6 (enam) bulan pengumuman tak dilakukan,
pendaftaran pencabutan gugur dengan sendirinya dan tidak mengikat pihak ketiga
(pasal 50 ayat (4) KHI).
Layanan Konsultasi & Informasi Tentang Perceraian
Secara prinsip
blog ini untuk memberikan pelayanan konsultasi tentang perceraian, harta gono-gini, hak asuh anak, warisan, dan itsbat nikah secara
profesional.
Bagi anda yg mengalami permasalahan-permasalahan di atas,
anda dapat menghubungi kami di:
- email: perceraian@gmail.com
- telp: 083877662277
- alamat: Jl. Mawar 1 No 29 Pondokcina Depok
Sesuai dengan
maksud dan tujuan blog ini, ialah memberikan pelayanan konsultasi tentang
perceraian, harta gono-gini, hak asuh anak, warisan, dan itsbat nikah secara profesional, maka untuk konsultasi perceraian dikenakan
biaya sebagai berikut:
- Kedatangan pertama konsultasi = Rp 200.000,-
Hal-hal yg perlu
diketahui dalam konsultasi perceraian:
- Jadwal konsultasi:
- Senin sampai Jumat = Jam 9.00 - 19.30
- Sabtu - Minggu atau diluar jam kantor = perjanjian terlebih dahulu
- Usahakan adakan perjanjian dahulu untuk jadwal konsultasi
- Telepon atau Sms (083877662277)
Hukum Waris
Hukum Waris adalah suatu hukum
yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia
diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga (keturunan) dan masyarakat yang lebih
berhak.
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap orang memiliki keinginan yang berbeda menentukan hukum waris dalam memberikan warisan kepada ahli waris
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap orang memiliki keinginan yang berbeda menentukan hukum waris dalam memberikan warisan kepada ahli waris
Adopsi Anak
tata cara dan akibat hukumnya
Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak
dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang
memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Apa langkah-langkah tepat
yang harus diambil agar anak angkat tersebut mempunyai kekuatan hukum?
1.
Pihak yang dapat mengajukan adopsi
a.
Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
b.
Orang tua tunggal
1. Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki
dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak
perempuan.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
2. Tata cara mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Bentuk permohonan itu
bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan
ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan
dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
3. Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:
- motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
- penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:
- motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
- penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
Untuk itu dalam
setiap proses pemeriksaan, Anda juga harus membawa dua orang saksi yang mengetahui seluk
beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula orang yang mengetahui
betul tentang kondisi anda (baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa Anda akan
betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.
4. Yang dilarang dalam permohonan
Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu:
- menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
- pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu:
- menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
- pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
Mengapa?
Karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.
Karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.
Mengingat bahwa Pengadilan
akan mempertimbangkan permohonan Anda, maka Anda perlu mempersiapkan segala sesuatunya
dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan
finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan keyakinan kepada majelis
hakim tentang kemampuan Anda dan kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti tersebut
biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.
5.
Pencatatan di kantor Catatan Sipil
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.
6.
Akibat hukum pengangkatan anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
a. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
· Hukum Adat:
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).· Hukum Islam:
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
· Peraturan Per-Undang-undangan :
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.
Istilah - istilah yang sering digunakan dalam sidang perceraian
1.
|
Panitera
|
:
|
seseorang yang
bertugas mencatat dan mengurusi urusan//berkas-berkas persidangan perceraian
|
2.
|
Ketua Hakim Pengadilan Agama
|
:
|
seseorang yang memimpin/mengepalai lembaga Pengadilan
Agama
|
3.
|
Ketua Hakim Majelis
|
:
|
seseorang yang
mengetuai para Hakim dalam suatu sidang
|
4.
|
Hakim Anggota
|
:
|
seseorang hakim yang menjadi Hakim anggota dalam satu
kelompok majelis
|
5.
|
Penggugat (dalam Pengadilan Agama)
|
:
|
seseorang
(istri) yang mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama
|
6.
|
Tergugat (dalam Pengadilan Agama)
|
:
|
seseorang
(suami) yang digugat cerai di Pengadilan Agama
|
7.
|
Pemohon
|
:
|
seseorang (suami) yang mengajukan permohonan cerai talaq
pada istrinya di Pengadilan Agama
|
8.
|
Termohon
|
:
|
seseorang (istri) yang diajukan permohonan cerai talaq
oleh suaminya
|
9.
|
Gugatan cerai / cerai gugat
|
:
|
berkas/surat cerai yang diajukan oleh si istri kepada
suaminya
|
10.
|
Permohonan cerai talaq
|
:
|
berkas/surat
permohonan suami utk mengucapkan talaq agar dapat bercerai dengan istrinya
|
11.
|
Jawaban
|
:
|
berkas/surat
tanggapan dari si Tergugat (Termohon)
|
12.
|
Replik
|
:
|
berkas/surat
dari Penggugat (Pemohon) tentang tanggapan dari adanya Jawaban Tergugat
(Termohon)
|
13.
|
Duplik
|
:
|
berkas/surat
dari Tergugat (Termohon) tentang tanggapan dari adanya Replik si Penggugat
(Pemohon)
|
14.
|
Sidang saksi/pembuktian
|
:
|
sidang dimana para pihak (Penggugat/Tergugat)
memperlihatkan bukti-bukti dan membawa saksi-saksi untuk mendukung dan
membuktikan dalil-dalil dalam surat/berkas proses cerainya.
|
15.
|
Kesimpulan
|
:
|
berkas/surat
dari para pihak untuk menyimpulkan surat-surat berkas-berkas yang telah
diserahkan pada pengadilan.
|
16.
|
Petitum
|
:
|
permintaan yang diajukan oleh para pihak
|
17.
|
Hak pemeliharaan anak
|
:
|
adalah hak yang diperebutkan oleh para pihak untuk
mendapatkan hak memelihara anaknya
|
18.
|
Harta gono-gini
|
:
|
adalah harta yang
dihasilkan selama masa perkawinan
|
19.
|
Nafkah idah
|
:
|
nafkah yang diberikan mantan suami kepada mantan istrinya
setelah bercerai, dimana nafkah itu diberikan selama masa idah setelah
bercerai
|
20.
|
Mutah
|
:
|
adalah pemberian (kado) terakhir dari mantan suami kepada
mantan istrinya sebagai adanya akibat perceraian
|
21.
|
Nusyus
|
:
|
adalah keadaan dimana si suami atau istri meninggalkan
kewajibannya sebagai seorang suami atau istri
|
22.
|
Syiqaq
|
:
|
adalah suatu alasan cerai yang disebabkan adanya
perselisihan yang terus menerus atau adanya perbedaan prinsip yang sangat
mendasar yang tidak mungkin disatukan/didamaikan kembali
|
23.
|
Verstek
|
:
|
adalah putusan sidang tanpa sama sekali hadirnya si
Tergugat (Tergugat tidak pernah datang menghadiri sidang walaupun sudah dipanggil
dengan layak oleh pengadilan)
|
Kronologis Alur Proses Persidangan Perceraian Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
Perlu diketahui bahwa untuk yang beragama Islam (nikah secara muslim) jika ingin bercerai maka gugatan cerainya diajukan di Pengadilan
Agama, sementara bagi yang non-muslim jika ingin bercerai diajukannya di Pengadilan Negeri.
Bagi seseorang yang ingin mengajukan gugatan cerai persiapan
dan persyaratannya adalah :
- Mengumpulkan bukti-bukti perkawinan, seperti:
a. buku nikah;
b. akta kelahiran anak-anak (jika punya anak);
c. Kartu Tanda Penduduk (KTP);
d. Kartu Keluarga (KK)
e. bukti-bukti kepemilikan aset (rumah/mobil/buku tabungan);
- Membuat kronologis permasalahan;
- Membuat gugatan cerai;
- Persiapan biaya pendaftaran gugatan;
- Mendaftarkan gugatan cerai di pengadilan berwenang.
- Mempersiapkan dua orang saksi.
Adapun
urut-urutan sidang perceraian di Pengadilan Agama adalah :
- Sidang kelengkapan berkas-berkas, pembacaan gugatan dan usaha perdamaian;
1.1. Diikuti dengan acara mediasi ke-1;
1.2. Mediasi ke-2.
- Sidang hasil mediasi
- Sidang jawaban;
- Sidang replik;
- Sidang duplik;
- Sidang pembuktian dari penggugat;
- Sidang pembuktian dari tergugat;
- Sidang kesimpulan; dan
- Sidang putusan.
- Pembacaan ikrar talaq (jika yang ajukan gugatan cerai adalah suami).
Sedangkan sidang perceraian di Pengadilan Negeri terdapat sedikit perbedaan, yakni :
- Sidang kelengkapan berkas-berkas, pembacaan gugatan dan usaha perdamaian;
1.1. Diikuti dengan acara mediasi ke-1;
1.2. Mediasi ke-2.
- Sidang hasil mediasi;
- Sidang jawaban;
- Sidang replik;
- Sidang duplik;
- Sidang pembuktian dari penggugat;
- Sidang pembuktian dari tergugat;
- Sidang kesimpulan;
- Sidang putusan.
Langganan:
Postingan (Atom)